Hukum Memakai Cadar Menurut Berbagai Madzhab
Cadar dalam Bahasa Arab dikenal dengan sebutan an-niqob adalah kain yang menutupi seluruh wajah wanita atau sebagian wajahnya. Dan mengenai status hukum memakainya maka sangat erat hubungannya dengan hukum wajah wanita itu sendiri. Apakah itu termasuk aurat atau bukan.
Lalu bagaimana pandangan para ulama fiqih tentang hal tersebut? Berikut kajiannya :
1. Madzhab Al-Hanafiyah
As-Sarakhsi (w. 483 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah menyatakan bahwa wajah merupakan aurat yang harus ditutup sebab dengan memperlihatkannya kepada khalayak umum dikhwatirkan terjadi fitnah. Tetapi ketika wanita dalam keadaan ihrom tidak diperbolehkan menutup wajahnya.
Pendapat ini beliau tuliskan di dalam kitabnya Al-Mabsuth dalam bab Al-Manasik sebagai berikut :
وَلِأَنَّ الْمَرْأَةَ لَا تُغَطِّي وَجْهَهَا بِالْإِجْمَاعِ مَعَ أَنَّهَا عَوْرَةٌ مَسْتُورَةٌ فَإِنَّ فِي كَشْفِ الْوَجْهِ مِنْهَا خَوْفَ الْفِتْنَةِ
Ketika berihram, para ulama sepakat bahwa perempuan tidak diperbolehkan menutup wajahnya walaupun wajah adalah aurat yang harus ditutup. Karena dengan memperlihatkan wajah dikhawatirkan terjadi fitnah.[1]
Al-Kasani (w. 587 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Badai' Ash-Shanai' fi Tartibi As-Syarai' menuliskan sebagai berikut :
فَلَا يَحِلُّ النَّظَرُ لِلْأَجْنَبِيِّ مِنْ الْأَجْنَبِيَّةِ الْحُرَّةِ إلَى سَائِرِ بَدَنِهَا إلَّا الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ لِقَوْلِهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى {قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ} [النور: 30] إلَّا أَنَّ النَّظَرَ إلَى مَوَاضِعِ الزِّينَةِ الظَّاهِرَةِ وَهِيَ الْوَجْهُ وَالْكَفَّانِ رُخِّصَ بِقَوْلِهِ تَعَالَى {وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا} [النور: 31] وَالْمُرَادُ مِنْ الزِّينَةِ مَوَاضِعُهَا وَمَوَاضِعُ الزِّينَةِ الظَّاهِرَةِ الْوَجْهُ وَالْكَفَّانِ
Dan tidak diperbolehkan bagi seorang laki-laki melihat seluruh badan seorang wanita merdeka yang bukan mahram kecuali wajah dan kedua telapak tangan sebagaimana Allah SWT berfirman:" dan katakanlah kepada orang-orang yang beriman agar mereka menundukkan pandangannya" (QS.An-Nur 30). Kecuali melihat kepada perhiasan yang biasa nampak yaitu wajah dan kedua telapak tangan. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT: "dan janganlah kalian menampakkan perhiasan kalian kecuali yang biasa nampak" (QS.An-Nur 31). Dan adapun yang dimaksud dengan perhiasan disini adalah anggota badan yang biasa nampak yaitu wajah dan kedua telapak tangan.[2]
Az-Zaila’i (w. 743 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah dalam kitab Tabyin Al-Haqaiq Syarh Kanzu Ad-Daqaiq menuliskan sebagai berikut :
قَالَ - رَحِمَهُ اللَّهُ - (وَبَدَنُ الْحُرَّةِ عَوْرَةٌ إلَّا وَجْهَهَا وَكَفَّيْهَا وَقَدَمَيْهَا)
Seluruh badan wanita merdeka adalah aurat kecuali wajah, kedua telapak tangan dan kedua telapak kakinya.[3]
Dari pemaparan ketiga ulama diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam madzhab Al-Hanafiyah terjadi perbedaan pendapat terkait apakah wajah wanita aurat atau bukan.
Pertama sebagaimana yang ditulis As-Sarakhsi bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat yang mencakup didalamnya wajah. Namun dikecualikan ketika berihram maka wanita tidak diperbolehkan menutup wajahnya.
Kedua sebagaimana yang dituliskan Al-Kasani bahwa wajah dan kedua telapak tangan bukanlah aurat.
Ketiga sebagaimana yang ditulis Az-Zaila’i bahwa wajah, kedua telapak tangan dan kedua telapak kaki bukanlah aurat.
2. Madzhab Al-Malikiyah
Dalam madzhab ini jika ditakutkan terjadi fitnah dari si wanita maka ia diwajibkan menutup wajahnya dan kedua telapak tangannya.
Hal itu sebagaimana yang dituliskan Al-Hathab Ar-Ru’aini (w. 954 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah di dalam kitabnya Mawahibul Jalil beliau menuliskannya sebagai berikut :
إنْ خُشِيَ مِنْ الْمَرْأَةِ الْفِتْنَةُ يَجِبُ عَلَيْهَا سَتْرُ الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ
Jika ditakutkan fitnah dari wanita, maka diwajibkan untuk menutup wajahnya dan kedua telapak tangannya.[4]
3. Madzhab As-Syafiiyah
An-Nawawi (w. 676 H) salah satu ulama dalam mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitabnya Raudhatu At-Thalibin wa Umdatu Al-Muftiyyin menuliskan sebagai berikut :
[الضَّرْبُ] الْأَوَّلُ: نَظَرُ الرَّجُلِ إِلَى الْمَرْأَةِ، فَيَحْرُمُ نَظَرُهُ إِلَى عَوْرَتِهَا مُطْلَقًا، وَإِلَى وَجْهِهَا وَكَفَّيْهَا إِنْ خَافَ فِتْنَةً. وَإِنْ لَمْ يَخَفْ، فَوَجْهَانِ، قَالَ أَكْثَرُ الْأَصْحَابِ لَا سِيَّمَا الْمُتَقَدِّمُونَ: لَا يَحْرُمُ، لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: (وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا) [الْأَحْزَابِ: 31] وَهُوَ مُفَسَّرٌ بِالْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ، لَكِنْ يُكْرَهُ، قَالَهُ الشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ وَغَيْرُهُ. وَالثَّانِي: يَحْرُمُ, قَالَهُ الِاصْطَخْرِيُّ وَأَبُو عَلِيٍّ الطَّبَرِيُّ، وَاخْتَارَهُ الشَّيْخُ أَبُو مُحَمَّدٍ، وَالْإِمَامُ، وَبِهِ قَطَعَ صَاحِبُ (الْمُهَذَّبِ) وَالرُّويَانِيُّ
Seorang laki-laki diharamkan melihat aurat wanita secara mutlak juga tidak dibolehkan memandang wajah dan kedua telapak tangan jika khawatir terjadi fitnah. Tapi jika bebas dari fitnah maka ada dua pendapat: yang pertama tidak diharamkan, dan ini adalah pendapat sebagian besar ulama madzhab ini terutama para ulama pendahulu As-Syafiiyah, dengan dalil firman Allah SWT: ”dan janganlah para wanita menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak” dan itu ditafsirkan sebagai wajah dan telak tangan. Walaupun itu tidak diharamkan tetapi hal itu makruh menurut Syaikh Abu Hamid dan lainnya. Sedangkan pendapat yang kedua adalah tetap diharamkan meskipun itu bebas dari fitnah dan pendapat yang kedua ini adalah pendapat Ishthahriy, Abu Ali Ath-Thabari, Syaikh Abu Muhammad, Imam Al-Haramain, juga penulis kitab Al-Muhadzab (Asy-Syairozi) dan Ar-Ruyani.[5]
Zakaria Al-Anshari (w. 926 H) yang juga ulama mazhab Asy-syafi'iyah di dalam kitabnya Asnal Mathalib Syarah Raudhu Ath-Thalib menuliskan sebagai berikut.
(فَصْلٌ نَظَرُ الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ عِنْدَ أَمْنِ الْفِتْنَةِ) فِيمَا يَظْهَرُ لِلنَّاظِرِ مِنْ نَفْسِهِ (مِنْ الْمَرْأَةِ إلَى الرَّجُلِ وَعَكْسِهِ جَائِزٌ) وَإِنْ كَانَ مَكْرُوهًا لِقَوْلِهِ تَعَالَى فِي الثَّانِيَةِ {وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا} [النور: 31] وَهُوَ مُفَسَّرٌ بِالْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ
Hukum melihat wajah dan kedua telapak tangan saat bebas dari fitnah itu boleh, baik itu wanita yang memandang laki-laki ataupun sebaliknya. Namun meskipun boleh tapi makruh sebagaimana firman Allah SWT: ”dan janganlah para wanita menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak” dan itu ditafsirkan sebagai wajah dan telak tangan.[6]
Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 974 H) salah satu ulama mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitab Tuhfatu Al-Muhtaj Fi Syarhi Al-Minhaj menuliskan sebagai berikut :
(وَ) عَوْرَةُ (الْحُرَّةِ) وَلَوْ غَيْرَ مُمَيِّزَةٍ وَالْخُنْثَى الْحُرِّ (مَا سِوَى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ)
Dan aurat wanita yang merdeka terlepas apakah ia bukan mumayizah ataupun khuntsa (perempuan yang mempunyai alat kelamin ganda) adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan.[7]
Beliau juga menambahkan bahwa tidak ada satu orang pun yang mengatakan bahwa wajah wanita adala aurat. Dalam kitab yang sama beliau menuliskannya sebagai berikut:
وَلَمْ يَقُلْ أَحَدٌ إنَّ وَجْهَهَا عَوْرَةٌ
Tidak ada satu orang pun yang mengatakan bahwa wajah wanita adalah aurat
Al-Khatib Asy-Syirbini (w. 977 H) salah satu ulama mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitab Mughni Al-Muhtaj menuliskan sebagai berikut :
(وَلَا يَنْظُرُ) مِنْ الْحُرَّةِ (غَيْرَ الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ)
Seorang laki-laki yang akan meminang wanita merdeka, ia tidak boleh memandang kepadanya kecuali wajah dan telapak tangan.[8]
Dari penjelasan ulama-ulama syafiiyah diatas dapat disimpulkan bahwa dalam madzhab ini terjadi perbedaan pendapat terkait apakah wajah wanita aurat atau bukan.
Yang pertama adalah pendapat yang mengatakan bahwa wajah wanita bukanlah aurat yang harus ditutup. Ini adalah pendapat mayoritas ulama syafiiyah dan juga Syeikh Abu Hamid Al-Isfaroyini (w. 406 H).
Dan yang kedua adalah pendapat yang pengatakan bahwa wajah wanita adalah aurat baik itu dalam kondisi khawatir terjadi fitnah ataupun bebas dari fitnah. Artinya, ini berarti pendapat yang menganggap cadar hukumnya wajib dalam keadaan apapun itu. Ini adalah pendapat sebagian ulama syafiiyah seperti Abu Sa’id Al-Ishthahriy (w. 328 H), Abu Ali Ath Thabari (w. 350 H), Syeikh Abu Muhammad Al-Juwaini (w. 438 H), Imam Al-Haramain (w. 478 H), Abu Ishaq Asy-Syairozi (W. 476 H) dan Ar-Ruyani (w. 502 H).[9]
4. Madzhab Al-Hanabilah
Dalam madzhab ini juga terjadi perbedaan pendapat. Yang pertama adalah pendapat sebagian ulama Al-Hanabilah yang mengatakan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat maka termasuk didalamnya wajah.
Ibnu Qudamah (w. 620 H) ulama dari kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Mughni menuliskannya sebagai berikut :
وقال بعض أصحابنا: المرأة كلها عورة؛ لأنه قد روي في حديث عن النبي - صلى الله عليه وسلم -: «المرأة عورة»
Dan sebagian dari ulama kami berkata: bahwa perempuan seluruhnya adalah aurat, telah diriwayatkan dalam hadits nabi SAW berkata: bahwa perempuan itu aurat.[10]
Kemudian yang kedua adalah pendapat yang mengatakan bahwa wajah bukanlah aurat dan ini adalah pendapat yang dipilih dalam madzhab ini.
Al-Mardawi (w. 885 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Inshaf fi Ma'rifati Ar-Rajih minal Khilaf menuliskannya sebagai berikut :
الصَّحِيحُ مِنْ الْمَذْهَبِ أَنَّ الْوَجْهَ لَيْسَ بِعَوْرَةٍ. وَعَلَيْهِ الْأَصْحَابُ.
Pendapat yang benar dari mazhab kami adalah bahwa wajah bukan termasuk aurat.[11]
5. Madzhab Azh-Zhahiriyah
Ibnu Hazm (w. 456 H) salah satu tokoh mazhab Azh-Zhahiriyah di dalam kitab Al-Muhalla bil Atsar dalam hal ini beliau memaparkan tentang firman Allah SWT QS.An-Nur ayat 31 yang berbunyi:
وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ
"…dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang biasa terlihat dan hendaklah mereka menjulurkan kerudung mereka sampai menutup dada dan janganlah mereka menampakkan aurat mereka kecuali didepan suami mereka…” (QS. An-Nur:31)
Sampai dengan firman Allah SWT:
وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ
"Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan…” (QS. An-Nur:31)
Dari ayat diatas beliau menyimpulkan bahwa Allah SWT menyuruh wanita untuk menjulurkan kerudungnya sampai menutup dada, dan ini menjadi indikasi tentang wajibnya menutup aurat itu meliputi leher dan dada, dan ini juga dalil dibolehkannya membuka wajah.
فَأَمَرَهُنَّ اللَّهُ تَعَالَى بِالضَّرْبِ بِالْخِمَارِ عَلَى الْجُيُوبِ، وَهَذَا نَصٌّ عَلَى سَتْرِ الْعَوْرَةِ، وَالْعُنُقِ، وَالصَّدْرِ. وَفِيهِ نَصٌّ عَلَى إبَاحَةِ كَشْفِ الْوَجْهِ
Dalam ayat tersebut Allah SWT menyuruh wanita untuk menjulurkan kerudung mereka sampai menutup dada dan ini adalah dalil bahwa wajibnya menutup aurat diantaranya leher dan dada. Dan ini juga menjadi dalil atas bolehnya wanita memperlihatkan wajahnya.[12]
Wallahu’alam.
[1] As-Sarakhsi, Al-Mabsuth, jilid 4 hal 7.
[2] Al-Kasani, Badai’ Ash-Shanai’ fi Tartibi Syara’i, jilid 5 hal 121.
[3] Az-Zaila’i, Tabyin Al-Haqaiq Syarh Kanzu Ad-Daqaiq, jilid 1 hal 96.
[4] Al-Hathab Ar-Ru’aini, Mawahibu Jalil, jilid hal.
[5] An-Nawawi, Raudhatu At-Thalibin wa Umdatu Al-Muftiyyin, jilid 7 hal 21.
[6] Zakaria Al-Anshari, Asnal Mathalib Syarh Raudhu At-Thalib, jilid 3 hal 112.
[7] Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatu Al-Muhtaj Fi Syarhi Al-Minhaj, jilid 2, hal 111.
[8] Al-Khatib Asy-Syirbini, Mughni Al-Muhtaj , jilid 4, hal 208.
[9] An-Nawawi, Tahdzibul Asma wa Al-Lughat
[10] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 1 hal 431.
[11] Al-Mardawi, Al-Inshaf fi Ma’rifati Ar-Rajih min Al-Khilaf, jilid 1 hal 452.
[12] Ibnu Hazm, Al-Muhalla bil Atsar, jilid 2 hal 247.
( Miratun Nisa/rumahfiqih.com)