SuaraNetizen.com ~ Di setiap masa dan zaman, selalu ada ulama atau ahli agama yang keilmuannya mencapai level ijtihad, dimana sang ahli agama tersebut –dengan ilmunya- mampu menggali hukum dari teks syariah langsung. Mereka juga menguasai berbagai ilmu penunjang dalam menjalani syariat ini dengan benar dan tepat serta proporsional. Walaupun memang level ijtihadnya hanya parsial (Ijtihad Juz’i) dimana sang ahli agama itu pakar di satu bidang, tapi tidak dengan bidang lain. Itu yang disebut dengan Mujtahid Juz’iy (parsial).
Mujtahid Tidak Mengerjakan Yang Tidak Berguna.
Sejak dulu, mujtahid itu membahas masalah-masalah yang memang baru dan tidak terjadi di masa mujtahid sebelumnya. Atau bisa saja sudah terjadi di masa mujtahid sebelumnya, hanya saja belum dibahas oleh mujtahid zaman itu. Atau bisa juga mujtahid itu membahas masalah yang sudah dibahas oleh mujtahid sebelumnya hanya saja dari aspek yang berbeda. Intinya mujtahid itu memang orang yang cerdas, beliau membahas, meneliti serta menelaah sesuatu yang memang diperlukan. Apa yang sudah selesai dibahas, tidak perlu lagi ada pembahasan ulang. Mereka sudah sangat percaya dengan keilmuan mujtahid sebelumnya.
Sejak Imam Abu Hanifah wafat, yang dilakukan murid beliau yang memang ‘alim itu tidak mem-fatwa ulang apa yang sudah difatwakan, bukan itu pekerjaan mereka. Apa yang sudah difatwakan, itu dijalankan. Apa yang belua difatwakan, itu yang diteliti. Apa yang baru terjadi, itu yang menjadi objek ijtihadnya. Begitu juga imam madzhab yang lain. Sejak Imam Syafi’i wafat, murid beliau setelah tidak sibuk-sibuk menelaah ulang apa yang sudah difatwakan oleh sang Imam. Tugas mereka melengkapi kaidah yang memang kurang dan dibutuhkan, juga menelaah masalah baru dengan kaidah yang ada.
Begitulah pekerjaan orang yang cerdas lagi mengerti. Ilmunya digunakan untuk sebaik-baiknya kemaslahatan. Mem-fatwakan apa yang sudah difatwakan sebelumnya oleh mujtahid di zaman sebelumnya, itu pekerjaan yang sia-sia dan mubadzir. Sibuk dengan masalah yang sudah selesai bertahun-tahun lalu, akhirnya membuat banyak masalah di zamannya terbengkalai tanpa hukum. Dan ini berbahaya.
Lebih jauh lagi, jika seorang mujtahid hanya berkutat pada masalah yang sudah selesai, jelas membuat sang awam menjadi ragu dan bingung. Mereka sudah terbiasa beribadah dengan fatwa yang memang turun menurun dari guru atau orang tuanya, dan itu jelas dari mujtahid sebelumnya. Tetiba datang mujtahid baru malah sibuk memfatwa ulang, karena merasa mujtahid sebelumnya miskin ilmu dan tidak merujuk kepada al-Quran dan sunnah, akhirnya disalahkan.
Imbasnya adalah awam kebingungan; “berararti ibadah saya selama ini salah dan keliru. Berarati orang tua saya meninggal dalam status penuh dosa dan kesalahan!”. Bukankah itu justru menyusahkan awam. Begitukah fungsi ilmu agama?
‘MUJTAHID’ KEKINIAN SAAT INI ...
Ini fenomena orang berilmu saat ini. ilmu tinggi tapi sayang kerjaan hanya mempermasalahkan apa yang sudah selesai sejak ratusan tahun lalu. Yang dibahas hanya berkutat pada masalah; “melafadzkan niat, adzan jumat 2 kali, mengusap kepala ketika wudhu, qunut subuh, mengangkat tangan dalam shalat dan masalah-masalah basi serta sudah selesai ratusan tahun lalu lainnya. Apa dan dimana manfaat ilmu tersebut jika hanya membahas apa yang sudah selesai ratusan tahun lalu? Sedangkan masih banyak Pe-er yang menganga depan mata dan kosong hukum.
Tidak cukupkah kita dengan fatwa imam dan ulama madzhab yang sudah bersusah payah menjelaskan masalah tersebut? Lalu apa gunanya di-fatwakan ulang? Tidak percayakah kita terhadap mereka, para imam dan ulama madzhab yang sudah dengan segenap jiwa raga mendedikasikan hayat untuk agama ini? masalah-masalah yang sudah selesai dibahas oleh para ulama madzhab tinggal dijalankan. Bukan lagi dipermasalahkan apalagi diteliti ulang.
Percaya Kepada Ahlinya.
Apa kita berfikir mereka dalam berhukum tidak merujuk kepada al-Qur’an dan sunnah Nabi s.a.w.? Padahal merekalah orang yang paling mengerti tentang teks-teks syariah baik manthuq ataupun mafhum-nya.
Apakah mereka salah dan tidak mengerti dalam memahami teks-teks syariah? Kalau mereka salah dalam memahami teks syariah dan tidak mengerti dengna maksud ayat dan hadits dengan benar, lalu apakah kita bisa memahami teks syariah lebih baik atau sebaik mereka?
Imam Madzhab itu Manusia, Bisa Salah.
Mungkin kita berfikir kalau mereka manusia yang bisa salah? Kalau seperti itu memangnya kita ini siapa, bukan manusia? Kalau mereka yang hidup di zaman yang jaraknya kepada Nabi s.a.w. hanya 2 sampai 3 angkatan adalah manusia yang bisa salah, apalagi kita yang rentan dan jarak waktu kepada Nabi s.a.w. ratusan bahkan ribuan angkatan. Tentu kemungkinan adanya pemalsuan sangat besar dibanding mereka yang hanya berjarak 2 atau 3 angkatan.
Bermadzhab itu Fanatisme?
Mungkin juga ada yang berfikir, bahwa bermadzhab itu hanya melahirkan fanatisme? Justru pernyataan sepereti itu keliru, dan sepertinya ia tidak memahami madzhab itu sendiri. Bermadzhab itu bukan fanatisme, bermadzhab adalah jalan dan upaya dalam beragama dengan jalur yang baik dan valid sehingga beragama menjadi aman dan selamat dari kekeliruan serta penyelewengan kandunga hukum syariah.
Bermadzhab bukan fanatisme! Fanatisme adalah menyalahkan pendapat orang lain dan memaksakan orang lain untuk mengikuti pendapat yang kita pegang. Itu fanatisme yang dibenci oleh agama.
Apakah ada sejarahnya ulama madzhab memaksakan fatwanya untuk diikuti? Adalah perintah resmi dari sang ulama madzhab kepada pengikutnya untuk menyalahkan mereka yang tidak mengikuti fatwanya? Adakah sejarahnya ulama madzhab membenci ulama lainnya yang sezaman hanya karena berbeda paham? Adakah di antara mereka saling lempar tuduhan dan bangga dengan tuduhannya sampai tidak malu meng-’gelar’-nya di depan khalayak ramai?
Apakah yang mengatakan: “pendapatku benar, tapi bisa jadi salah. Dan pendapat selainku salah tapi bisa jadi benar!” disebut fanatik?
Atau perkataan seperti: “ini pendapat yang benar sesuai al-Quran dan sunnah!” yang disebut fanatik? Lalu siapa sejatinya yang fanatik? Yang bermadzhab atau yang memang anti kepada madzhab?
Jalankan, Tak Usah Diributkan!
Maka, apa yang sudah selesai dan sudah difatwakan oleh ulama madzhab, jalankan. Tidak perlu dipermasalahkan. Kalau ada perbedaan, silahkan pilih mana yang membuat hati tenang, tak perlu diributkan.
Kalau kita bisa dan mau percaya kepada Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam penstatusan hadits, lalu kenapa kita tidak bisa percaya kepada Imam al-Syafi’i dalam ijtihadnya sehingga harus sibuk mem-fatwa ulang?
Wallahu a’lam
Sumber : rumahfiqih.com