SuaraNetizen.com - Kematian mantan presiden sekaligus salah satu generasi pendiri Israel, Shimon Peres, membuat media-media Barat berlomba menyampaikan puja-pujaan terhadap pria yang mereka sebut sebagai “man of peace”.
ABC, Deutsche Welle, Ynet dan beberapa media lainnya menggunakan kalimat “pria damai” itu dalam judul laporan mereka ketika memberitakan kematiannya. Sementara Fox News menyebutnya “pelopor perdamaian” dan The Washington Post memujinya sebagai “pahlawan Israel yang percaya pada perdamaian.”
The Times of Israel mengemas judulnya dengan kalimat “Peres, pria damai, yang menjadikan Israel kekuatan militer utama”. Senada, The New York Times menulis “Shimon Peres wafat di usia 93; membangun pertahanan Israel dan mengusahakan perdamaian”. Dan CNN, menggambarkannya sebagai “serdadu perdamaian Israel”, seperti yang dilakukan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry.
Sayang, laporan media hanya mengutip orang-orang Amerika dan Israel serta mengabaikan darah ribuan korban, khususnya warga Palestina dan Lebanon, yang tewas akibat kebijakan Peres selama 62 tahun menduduki kursi pemerintahan, mulai dari menteri luar negeri, menteri pertahanan hingga perdana menteri.
Mahmoud Abbas (tengah) duduk di samping Presiden Dewan Eropa Donald Tusk (kiri) saat menghadiri upacara pemakaman Shimon Peres di Mount Herzl, Jumat (30/09).
Pujian dari Pemimpin Dunia
Dilansir The Jerusalem Post, tak kurang dari 70 pemimpin dunia, yang terdiri dari 20 presiden, lima pemimpin negara lainnya, 15 menteri luar negeri dan sejumlah pembesar, menghadiri pemakaman Peres di Mount Herzl pada Jumat (30/09).
Presiden AS Barack Obama, Presiden Prancis Francois Hollande dan Presiden Jerman Joachim Gauck dan bahkan Presiden Palestina Mahmoud Abbas hadir dalam upacara pemakaman tersebut. Mantan presiden AS Bill Clinton juga ada dalam daftar tamu bersama Menlu AS John Kerry dan Pangeran Charles.
Sama seperti kebanyakan media, para pemimpin negara yang hadir juga mengelu-elukan visi Peres yang wafat di usia 93 tahun.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menggambarkannya sebagai “orang besar dunia”.
“Shimon memiliki kehidupan yang bermakna,” katanya di hadapan ribuan hadirin di taman makam Mount Herzl, BBC melaporkan. “Ia terbang ke ketinggian yang luar biasa. Dia menyingkirkan begitu banyak hal dengan visi dan harapannya. Dia merupakan orang besar Israel. Orang besar dunia.”
Sementara Obama mengatakan: "Saya merasa terhormat bisa berada di Yerusalem untuk mengucapkan salam perpisahan kepada teman saya Shimon Peres, yang telah menunjukkan kepada kita bahwa keadilan dan harapan adalah jantung dari ide zionis.”
Clinton, yang membantu negosiasi kesepakatan Oslo antara Israel dan Palestina pada awal 90an, menyebut Peres sebagai “pemimpi terbesar” negara Yahudi.
“Dia membayangkan semua hal yang dapat kita lakukan. Dia memulai kehidupan sebagai pelajar paling cemerlang Israel, kemudian menjadi guru terbaik dan akhirnya pemimpi terbesar (Israel),” kata Clinton.
Pemakaman Peres merupakan yang terbesar di Israel sejak kematian perdana menteri Yitzhak Rabin, yang tewas dibunuh nasionalis Yahudi pada 1995.
Netanyahu mengklaim, “Israel berduka (atas kematiannya). Begitu juga dunia.”
Presiden Amerika Serikat Barack Obama memeluk anggota keluarga mantan presiden Shimon Peres setelah memberikan ucapan belasungkawa pada upacara pemakaman Peres di tempat pemakaman Mount Hezrl di Yerusalem, Jumat (30/9).
Dosa-dosa Peres
Namun, bagi warga Palestina, kehidupan Peres tidaklah secemerlang paparan media dan pemimpin dunia. Dia lebih dikenal sebagai elit zionis yang bertanggung jawab atas pembentukan negara Yahudi pada 1948 di atas reruntuhan tanah air warga Palestina.
Shimon Peres yang sebenarnya, sebagai perdana menteri, dikenal sebagai orang yang mengawasi serangan berdarah di Lebanon pada 1996, termasuk pembantaian terhadap lebih dari 100 warga sipil dalam serangan di kamp pengungsi PBB di Qana.
Ketika menjabat sebagai menteri pertahanan pada 1970, Peres mendorong pembangunan permukiman ilegal pertama di Tepi Barat. Slogannya adalah “permukiman di mana-mana”, seperti tertulis dalam memoar Rabin. Dia juga dianggap sebagai salah satu arsitek program senjata nuklir Israel dan memerintahkan penangkapan terhadap orang yang membocorkan program tersebut kepada dunia.
Dia juga mendukung blokade atas Jalur Gaza.
Peres, yang berpartisipasi dalam perang pendirian Israel dengan cara mengusir dan menggusur mayoritas penduduk asli Palestina pada 1948, berusaha menghapus sejarah ini. “Pria damai” itu mengatakan kepada harian Israel, Maariv, pada 2013 bahwa sebelum Israel didirikan, “tak ada apapun di sini.”
Kolumnis Israel, Gideon Levy, yang pernah menjadi ajudan Peres menjelaskan kepribadiannya di Haaretz, seperti dikutip dari The Intercept: “Dia menginginkan perdamaian. Siapa yang tidak? Tapi sebenarnya, bahkan di saat-saat sulit, ia tak pernah menganggap warga Palestina sederajat dengan umat Yahudi, maka tentu saja tak memiliki hak yang sama.”
Dok. Yasser Arafat, Menteri Luar Negeri Israel Shimon Peres dan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin (ki-ka) menunjukkan penghargaan Hadiah Nobel Perdamaian mereka kepada hadirin di Oslo City Hall tanggal 10 Desember 1994.
Kesepakatan Oslo
Citra baik Peres mulai digaungkan usai berhasil mengarsiteki kesepakatan Oslo pada 1993, yang memberikan otonomi terbatas kepada warga Palestina dan menandai berdirinya Otoritas Palestina. Berkat jasanya itu, dia, bersama Rabin dan Yasser Arafat, dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian. Namun beberapa dekade kemudian, kesepakatan ini dianggap sebagai sebuah kegagalan karena jumlah pemukim Yahudi telah meningkat dua kali lipat sejak saat itu, dan banyak pihak yang memandang Otoritas Palestina sebagai subkontraktor pendudukan.
Profesor politik di Universitas Haifa, Asad Ghanem, mengatakan kesepakatan Oslo merupakan bencana bagi warga Palestina karena membantu permukiman ilegal berkembang sementara Otoritas Palestina tak berbuat apa-apa hingga memaksa mereka tinggal di kantung-kantung kecil wilayah pendudukan.
Rashid Khalidi, ahli konflik Israel-Palestina dan profesor sejarah di Universitas Columbia, berpendapat bahwa Oslo “bukanlah perjanjian” dan “bukan struktur yang dirancang untuk mengakhiri konflik”.
Kesepakatan Oslo mempertahankan pendudukan militer Israel atas sebagian besar wilayah Tepi Barat. Oslo II hanya memberikan Otoritas Palestina kontrol atas wilayah kecil yang disebut dengan Area A. Pada 2013, Otoritas Palestina hanya mengontrol 18 persen wilayah Tepi Barat sementara militer Israel menguasai Area B, 22 persen Tepi Barat dan Area C, 60 persen sisanya.
Dok. Anggota garda Knesset membawa peti jenazah mantan Presiden Israel Shimon Peres yang terbungkus bendera, dalam upacara pemakaman di Knesset, Parlemen Israel, sebelum dibawa menuju Pemakanan Mount Hezrl di Yerusalem, Jumat (30/9).
Tak Menyesal Hingga Akhir Hayat
Pernyataan Peres pada Perang Gaza 2014 adalah simbol kontradiksi antara keyakinannya akan perdamaian dan dukungannya terhadap militerisme yang tak pernah putus. Meski menyerukan solusi diplomatik, ia juga menganjurkan agar pemerintahan Hamas di Gaza digantikan oleh sekutu Israel, Otoritas Palestina.
Ketika serangan udara Israel menghabisi ribuan warga sipil Palestina, bahkan anak-anak, Peres memuji militer negaranya dan menjelek-jelekkan warga Palestina, dengan mengatakan bahwa perang itu tidak hanya “perang angkatan dara (Israel) melawan terorisme, tapi juga perang bagi setiap pribadi tentara melawan orang yang tidak menghargai kehidupan manusia, yang siap membunuh. Perang orang-orang berani melawan orang-orang yang tidak memiliki pengendalian diri. Orang-orang jahat yang tidak memiliki belas kasihan bahkan terhadap diri mereka sendiri.”
Mengenai kesepakatan damai dengan Palestina, Peres dengan tegas mengatakan: “Prioritas utamanya adalah melestarikan Israel sebagai negara Yahudi. Itulah tujuan utama kami, itulah yang kami perjuangkan.” (rimanews)